Thursday, April 22, 2010

...Ia Menjawab Doa, Bahkan Sebelum (Sempat) Berdoa...

Hi MyFriendz...
Dalam suatu doa, aku pernah kehabisan kata-kata, akhirnya aku hanya diam saja...
Bahkan dalam doa seringkali aku tidak mengatakan apa-apa...
Membiarkan DIA berbicara padaku...
Dan ternyata walaupun aku tidak pernah mendengarkan suara apa-apa secara langsung tapi aku bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam doa-ku...
Dan itulah yang paling membahagiakan...
Dan jika kita peka, seringkali Tuhan berbicara kepada kita melalui pengalaman hidup sehari-hari dan dalam interaksi dengan sesama...

Tuhan memang ada di mana-mana, bahkan ada di dalam hati kita...
Tak ada ketulian dan kebutaan dalam kamus-Nya, karena DIA tahu betul apa isi hati kita yang sebenar-benarnya...
Memang jawaban doa tidak bisa diprogram supaya menjadi seperti yang kita mau, tetapi percayalah bahwa Tuhan selalu menjawab doa kita dengan tepat dan benar...
Doa adalah "nafas" kita...
Firman adalah "makanan" kita...
Amien...

So MyFriendz...
Saat Tuhan menjawab doamu, IA menambah imanmu...
Saat Tuhan belum menjawab doamu, IA menambah kesabaranmu...
Saat Tuhan menjawab lain dari doamu, IA memilih yg terbaik untukmu...
Coz...
GOD hears more than u say...
GOD answers more than u ask...
And GOD gives more than u desire...

Di bawah ini, aku sharing-kan sebuah kesaksian yang mungkin cukup untuk menjelaskan...



...Ia Menjawab Doa, Bahkan Sebelum (Sempat) Berdoa...


By : Jelitta Swetta


Percayakah Anda dengan pernyataan saya di atas? Jika tidak, izinkan saya berbagi mengenai dua moment terakhir yang terjadi dalam hidup saya.

Senja itu hujan rintik-rintik membuat jalanan licin. Ayah saya berusia lima puluh sembilan tahun namun masih kuat mengendarai motornya, dan senja itu ia membonceng saya. Rumah saya terletak di pinggiran Bandung dengan jalanan sulit meliputi dua tanjakan curam, yang selama sepuluh tahun terakhir ini tidak menawarkan masalah apa-apa pada ayah saya, sampai senja itu.

Entah karena ban motornya yang gundul, entah karena jalan licin yang baru terguyur hujan, yang pasti di tikungan kedua, ayah saya kehilangan kendali akan motornya, dan motor itu jatuh ke arah kanan.

Saya bukan perempuan yang bisa bereaksi cepat jika ada sesuatu yang terjadi. Pada saat kedua anjing saya berkelahi dan yang satu mencakar bola mata yang lain (sampai tergantung keluar seperti film kartun), saya cuma bisa menangis melihatnya sementara suami saya langsung menelepon dokter hewan kami. Saya juga tidak pernah berlatih karate, dan terus terang bukan penggemar olahraga, sehingga sampai saat ini saya masih terheran-heran apa yang menyebabkan saya bisa bereaksi begitu cepat, tangkas, dan tepat.

Pada saat motor ayah saya oleng ke kanan (saya menggunakan rok sehingga posisi duduk saya miring), ayah saya terkena akibat terlempar ke kiri, tapi dengan posisi seperti harimau mengaum dengan kedua tangannya terangkat ke atas. Ia tidak bisa menahan gravitasi bumi yang menariknya dan didepannya adalah pohon tinggi serta benteng rumah orang. Tidak ada alternatif yang lain. Entah keningnya akan menghantam pohon, atau dinding. Tinggal pilih saja.

Ayah saya punya sejarah stroke dua kali. Jika kepalanya terbentur keras seperti itu saya bahkan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Dan kejadian itu berjalan sangat cepat dalam hitungan tiga sampai lima detik.

Anehnya, bahkan sampai saat ini, saya masih bisa melihat kejadian itu di depan mata saya, karena saya menyaksikannya dalam adegan slow motion, benar, seperti ada remote kehidupan yang tombol slow motion nya ditekan. Saya masih bisa mengingat gerakan ayah saya yang seperti harimau mengaum siap menerkam pohon atau benteng rumah orang di depannya.

Dan saya, perempuan yang tidak pernah bereaksi cepat kecuali jika adegan hidup adalah rutinitas yang selalu berulang setiap hari, melompat turun dari motor yang oleng ke kanan, dan dengan gagah berani (sambil menyandang tas berat di bahu kanan), mencengkeram jaket ayah saya yang tebal, dan entah kenapa, punya kekuatan untuk menarik ayah saya sehingga tidak jadi menerkam pohon di depannya.

Cuma tiga sampai lima detik.

Tak ada waktu untuk berpikir. Tak ada waktu untuk berdoa. Tak ada waktu bahkan untuk memanggil nama Tuhan sekalipun. Secepat kedipan mata, bahkan saya pun tidak terpikir untuk melakukan hal itu. Tubuh saya yang melakukannya. Reflek saya yang melakukannya. Reflek? Yang benar saja. Handphone yang meluncur jatuh dari genggaman tangan saya saja, saya tidak mampu menangkapnya. Dalam keadaan nyaman di depan televisi menggenggam cangkir kopi panas saja, kopi saya tumpah tanpa ada yang menyenggolnya. Reflek?

Senja itu saya belajar bahwa Tuhan, penguasa semesta alam dengan galaksi besar tidak terhitung banyaknya, masih bisa memperhatikan seseorang (dua orang) yang berada di galaksi bima sakti, di planet bumi, di benua Asia, di negara Indonesia, di kota Bandung, di pinggiran jalan basah setengah kilometer dari rumah saya. Ia masih sempat menolong dengan menggerakkan tangan saya untuk menarik kembali ayah saya yang sedang terjun bebas ke sebuah batang pohon. Padahal, benar, saya bahkan tidak sempat memanggil namaNya, apalagi berdoa melipat tangan.

Moment yang kedua, adalah pada saat adik saya terkena usus buntu. Ia sudah merasakan itu sejak dua minggu sebelumnya, namun tidak pernah mengeluhkan tentang itu. Hingga pada hari minggu ia menderita kesakitan, dan didiagnosa penyakit maag-nya kambuh kembali. Senin esoknya penyakitnya makin parah, dan kami memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit saja.

A atau R? Saya memikirkan dua alternatif itu. R lebih dekat ke rumah tapi A memiliki reputasi yang lebih bagus. Saya tidak bisa memilih dan manusia lama saya masih berpikir untuk mengandalkan logika, sampai untunglah saya teringat untuk meminta petunjuk pada Tuhan. Saya tidak masuk ke dalam kamar menutup pintu dan berlutut berdoa, karena itu belum jadi kebiasaan saya, namun saya mengucapkannya dalam hati sambil beraktivitas.. (Tuhan, bantu saya memilih rumah sakit A atau R?)

Saya bahkan tidak punya gambaran bagaimana Tuhan akan menjawabnya. Yang pasti saya yakin bukanlah berupa suara mengguruh disertai halilintar menyambar.. AAA!!!! Atau e-mail yang tiba-tiba muncul, atau sms nyasar..

Namun jawaban-Nya ternyata cepat, bahkan tidak sampai dalam satu jam. Bagaimana? Bagaimana Ia menjawab? Saya yakin Anda sangat ingin sekali tahu. Ya, beginilah Ia menjawab, ia menanamkan keyakinan pada hati saya untuk memilih rumah sakit R.

Anda kecewa? Ya, saya bisa melihatnya. Kenapa bukan berupa sesuatu yang ajaib? Kenapa bukan berupa sesuatu yang menakjubkan?

Tapi memang begitulah terkadang Tuhan berbicara, manusiawi dan lembut. Mari kita belajar untuk mendengar suara-Nya. Sore itu saya belajar mendengar-Nya. Pilihan yang semula 50% - 50% menjadi 80% - 20%, namun itu sudah cukup untuk saya. Kami pun menunggu suami saya pulang yang akan mengantarkan kami ke rumah sakit R.

Setengah delapan, setengah sembilan.. kenapa suami saya belum datang juga? Jam enam sore tadi, saat kami berbicara melalui telepon, ia mengatakan sedang dalam perjalanan menuju rumah dosennya. Saya memperkirakan ia tiba di rumah jam tujuh. Tapi sekarang sudah hampir setengah sembilan. Suami saya sudah di akhir skripsi, dan itu berarti pertemuan dengan dosennya tidak mungkin selama itu. Ketika akhirnya ia tiba juga jam setengah sembilan lebih, ia bercerita ada dua mahasiswa yang mengambil kelas malam juga, tengah berkonsultasi dengan dosen tersebut, dan mereka kemudian mengobrol tentang hal-hal biasa lama sekali! Saat giliran suami saya, dosen tersebut cuma memerlukan waktu sepuluh menit untuk melakukan acc dan pertemuan itu berakhir. Tapi suami saya menunggu lebih dari dua jam, yang berarti kepergian kami ke rumah sakit juga tertunda lebih dari dua jam!

Percayakah Anda bahwa Ia mengatur segala sesuatu indah pada waktu-Nya?

Sepertinya tidak. Adik saya sudah sangat kesakitan di rumah. Bergerak sedikit saja ia mengerang dan merintih. Entah kenapa sama sekali tidak terlintas di pikiran saya untuk memanggil taksi, atau meminta bantuan tetangga, atau saudara. Adik saya mengatakan ia takut usus buntunya sudah pecah, kalau memang itu usus buntu. Saya mengatakan padanya berdoa saja.

Kami pun tiba di UGD rumah sakit jam setengah sepuluh malam. Dan seperti dugaan saya sebelumnya memang penyakit yang diderita adik saya adalah usus buntu. “Dan ini harus segera ditangani, ada dokter yang sedang mengoperasi pasien usus buntu juga di atas, Anda mau langsung dioperasi malam ini?”

Tentu saja, adik saya sudah sangat kesakitan seperti itu. Ibu dan ayah saya mengurus pengambilan sample darah untuk memastikan diagnosa dokter UGD itu, suami saya menelepon perusahaan asuransi, sementara saya menunggu adik saya di ruang darurat UGD yang dibatasi tirai-tirai. “Kita berdoa yuk..” aku mengajak.

Doa yang jauh dari sempurna, kami panjatkan malam itu. Agar Tuhan memilihkan dokter untuk kami, agar Tuhan ikut campur tangan dalam operasi itu.

Operasi pun dilakukan. Jam satu malam, dokter keluar dari ruang operasi untuk memperlihatkan usus buntu yang berhasil ia potong. “Kenapa baru sekarang datang?” dokter itu sedikit marah. “Usus buntunya sudah lama pecah, dan sudah bernanah ke mana-mana, sampai-sampai yang baru kami ambil saja sudah 50 cc!”

Kami terbengong dan ternganga.

Ketika operasi selesai dan dokter itu keluar dengan pakaian biasa, ia berkata adik saya masuk ICU. Meremang rasanya tubuh ini. Saya mengira ini cuma operasi usus buntu biasa, tapi nyatanya adik saya sekarang di ICU dengan tiga selang dipasang dalam perutnya.

Kami menunggu mondar-mandir di ICU tengah malam itu, memperhatikan foto-foto para dokter yang ada di rumah sakit itu. Dan menemukan suatu kenyataan. Dokter yang melakukan operasi tadi, yang memarahi kami tadi, adalah direktur rumah sakit ini! Ia punya deretan gelar yang banyak sekali di belakang namanya. Ia orang yang pintar sekali yang bahkan pernah melakukan operasi dengan dokter asing di luar negeri. Dan kami bahkan sebelumnya tidak tahu namanya, kami bahkan tidak pernah meminta ingin dioperasi oleh dokter itu.

“Oh ya, ia dokter terkenal..” tante saya mengatakannya pada saat ia tahu siapa yang melakukan operasi itu.

“Oh ya, ia biasanya praktek setelah jam sembilan malam..” om saya mengatakannya pada saat ia tahu siapa yang melakukan operasi itu.

Apakah Anda merinding? Saya juga. Tuhan telah menjawab doa bahkan jauh sebelum doa itu diucapkan naik ke hadirat Nya. Ia sudah menyediakan jauh sebelum segala peristiwa terjadi. Percakapan dua mahasiswa kelas malam itu dengan dosen, yang cuma berbicara tentang basa-basi. Apakah itu ada tujuan Nya? Oh ya. Menurut Anda, kalau suami saya tiba jam tujuh dan kami sampai rumah sakit lebih awal, apakah mungkin dokter yang melakukan operasi adalah dokter lain, yang mungkin saja terkejut dengan kondisi adik saya yang usus buntunya sudah pecah dan nanah mengalir ke mana-mana? Adik saya bisa saja meninggal.

Anda tahu ucapan direktur rumah sakit itu pada siang hari setelah adik saya sadar di ICU? Ia bilang, “..kamu ini paling menyusahkan operasi!” Seorang direktur rumah sakit besar dengan deretan gelar di belakangnya, dan pernah melakukan operasi dengan dokter asing di luar negeri mengatakan itu operasi yang sulit!

Bukankah Tuhan kita Tuhan yang luar biasa?

Pada saat saya bertanya pada-Nya, rumah sakit A atau R, ya Tuhan? Ia menjawab, R saja, Aku memilihkan yang terbaik untukmu. Kusediakan ia di sana, sedang melakukan operasi usus buntu juga, karena cuma ia yang bisa melakukan operasi yang sulit ini. Tapi jangan datang terlalu cepat, nanti kau diberikan pada dokter lain. Datanglah tepat pada waktu-Ku. Segala sesuatu indah pada waktu-Ku.

Dan malam itu di UGD, saya berdoa dengan adik saya, pilihkan dokter untuk kami, Tuhan, campur tangan dalam operasi ini, ya Tuhan.

Anda tahu, saya membayangkan saat itu Tuhan tersenyum. Anakku, Aku sudah memilihkan dokter untukmu jauh sebelum kau meminta padaKu, Aku sudah turut campur dalam segala sesuatunya untuk mengantarmu tepat pada waktu Ku.

Ya. Ia menjawab doa, bahkan sebelum kita (sempat) berdoa.

0 comments:

Post a Comment